“Apakah Allah memiliki maksud tertentu dengan angka-angka itu? Mengapakah kata-kata itu disimpan pada surat A dan ayat B? Mengapakah al-Qur’an disusun tidak secara kronologis seperti kitab Yahudi? Mengapa susunan nama surat dan ayat disusun-Nya seperti sekarang? Mengapakah al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 30 juz dan 6236 ayat? Apakah ada pesan (wahyu) simbolik dibalik susunan itu? Apakah ….? Mengapa ……….?”.
“Kecurigaan” adanya pesan simbolik berupa angka-angka ini menjadi awal munculnya paradigma numerik al-Qur’an, disamping paradigma verbal yang sudah biasa dan umum dikenal. Walaupun sering digunakan, angka kurang disadari telah membentuk bahasa tersendiri, bahasa matematik. Selain itu bahasa ini pun kurang luas penggunaannya dalam berbagai aktifitas ilmiah, kecuali untuk sebagian saja, diantaranya matematika, fisika dan ekonomi. Walaupun demikian, tanpa diragukan lagi bahasa angka memiliki tingkat universalitas yang lebih tinggi daripada bahasa huruf (verbal).(Aman dkk, 2008). Sejalan dengan pemikiran itulah, lebih kurang, muncul istilah Matematika Islam yang dipopulerkan oleh KH. Fahmi Basya, seorang dosen UIN (IAIN Syarif Hidayatullah) Jakarta. Beliau mengungkapkan Bahasa Kode Al-Qur’an (Basya, 2008) atau pola numerik dan Anatomi Al-Qur’an (Basya, 2007) sejak 1972.
Selain mengungkap pola numerik baru, KH. Fahmi Basya juga membuktikan korelasi hasil perhitungan matematisnya dengan ayat-ayat al-Qur’an (secara verbal), hadits-hadits Nabi serta hasil-hasil penelitian atau pengamatan ilmiah. Satu metode baru dalam menafsirkan al-Qur’an. Satu hal yang tidak kalah penting, KH. Fahmi Basya dapat menjelaskan Anatomi Al-Qur’an. Beliau dapat menjelaskan alasan matematis mengenai susunan dan struktur al-Qur’an.
Hampir sejalan dengan KH. Fahmi Basya adalah Arifin Muftie dan Abdussyakir. Arifin Muftie lebih menekankan pada kodetifikasi bilangan prima di dalam al-Qur’an (Muftie, 2004). Beliau memperlihatkan munculnya bilangan prima selain angka 19. Menurutnya, bilangan prima ini dipercaya oleh sebagian besar ilmuwan sebagai bahasa universal dan berhubungan dengan desain kosmos atau kodetifikasi alam semesta.
Sementara itu, Abdussyakir mencoba menjelaskan dan memaparkannya adanya struktur matematika dengan sangat rinci dan teliti yang akhirnya mengarah pada kelipatan bilangan 19. Beliau memperkuat argumennya dengan memberikan penjelasan angka 19 yang ditinjau berdasarkan nilai numerik dan secara matematis. Selanjutnya, Beliau juga mencoba menjelaskan bahwa dari al-Qur’an dapat dikembangkan beberapa konsep (bukan semuanya) dasar matematika karena pada hakekatnya matematika itu terdapat dan dapat dikembangkan dengan bersumber dari al-Qur’an. Di antara konsep matematika yang dipaparkannya adalah tentang himpunan dan operasi himpunan, bilangan dan operasi bilangan, himpunan bilangan dan sistem bilangan, perbandingan, fungsi, dan persamaan garis serta estimasi. Terakhir, Abdussyakir memberikan gambaran nyata tentang bagaimana memahami al-Qur’an melalui matematika. Menurutnya ada hal-hal tertentu dalam kehidupan yang hanya dapat diselesaiakan melalui bantuan matematika. Contoh yang diangkat diantaranya penyelesaian perhitungan faraidh, lamanya Nabi Nuh tinggal dengan kaumnya, serta lamanya Ashhabul Kahfi tertidur dalam gua.